OBSTRUCTION OF JUSTICE , CONTEMPT OF COURT DAN CRIMINALIZATION
Istilah contempt of court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi:
“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya
suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku,
sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of
Court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan
definisinya.” Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perbuatan tingkah laku,
sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan
lembaga peradilan, sikap-sikap tersebut dapat dikategorikan dan
dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan atau Contempt of
Court .
Selanjutnya, perbuatan yang termasuk dalam
pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain :
a.
Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in
Court)
b.
Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders)
c.
Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the
Court)
d.
Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice)
e. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara
pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule)
Sementara itu, di dalam artikel Aturan Contempt
of Court dibuat demi Kewibawaan Pengadilan dan artikel Vonis Bisa Contempt of
Court, disebutkan antara lain bahwa di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku saat ini, sebagai contoh terdapat di beberapa
pasal yang termasuk penghinaan terhadap pengadilan di antaranya Pasal 207,
Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP antara
lain :
Pasal 207 KUHP
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan
lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 217 KUHP
Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang
pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya
yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama
penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu
atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 224 KUHP
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara
paling lama enam bulan.
Kemudian, akademisi yang juga praktisi hukum
Luhut M.P. Pangaribuan dalam bukunya yang berjudul Advokat dan Contempt of
Court (hal. 17) berpendapat, Contempt of Court klasifikasinya bisa bersifat
langsung atau tidak langsung, bersifat pidana atau perdata tergantung pada
peristiwanya.
Di sisi lain , Wakil Jaksa Agung RI
Andhi Nirwanto memuji Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) karena mengatur mengenai obstruction of justice atau menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan.
Alasannya, karena saat ini obstruction of justice dalam
RUU KUHP dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
“ Ini dimasukan sebagai tindak pidana.
Ini suatu kemajuan yang cukup baik,” ujar Andhi dalam focus group
discussion RUU KUHP di Gedung DPR, Kamis (22/10).
Dalam Pasal 328 RUU KUHP disebutkan
bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang
mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Namun, Andhi melanjutkan, terhadap
ketentuan dalam Pasal 328 RUU KUHP menurutnya masih kurang lengkap. Sebab, yang
dimaksud dengan obstruction of justice adalah mengganggu
proses peradilan secara utuh. Artinya, proses peradilan mulai dari sejak
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan.
Tak sampai di situ, menurutnya, tahap
eksekusi putusan juga masuk dalam bagian peradilan. Dikatakan Andhi, proses
peradilan itu masuk ke dalam satu kesatuan criminal justice system (sistem
peradilan pidana). “Menurut hemat saya masih kurang lengkap. Sementara kalau
berbicara criminal justice system itu sejak dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutunan, persidangan sampai eksekusi,” ujarnya.
Andhi menambahkan, rumusan dalam Pasal
328 RUU KUHP menurutnya masih cenderung sebagai contempt of court, atau gangguan yang terjadi hanya ketika dalam persidangan
saja. Ia menilai, pasal itu perlu dikaji secara mendalam. Sebab, hal tersebut
telah menjadi bagian dari Article 25 Resolusi PBB Nomor 58/4.
“Yang di Pasal 328 ini lebih cenderung
hanya bersifat contempt of court, yakni mengganggu peradilan, di
persidangannya saja. Ini bisa menjadi sekedar masukan,” katanya.
Lantas bagaimana mengenai
Criminalization atau sering disebut kriminalisasi ? secara teori istilah kriminalisasi itu bukan bahasa hukum, namun dalam perkembangannya
menjadi populer ketika kata kriminalisasi sering kali muncul dan digunakan oleh
insan pers/ media yang mengabarkan suatu
peristiwa dimana seseorang yang merasa tidak melakukan perbuatan pidana namun
kemudian dianggap melakukan tindak pidana yang tadinya perbuatan tersebut bukan
perbuatan pidana dan istilah kriminalisasi secara teori hal tersebut
bertentangan dengan teori hukum itu sendiri, yang menyatakan “ tidak akan
seseorang dipidana bilamana aturan tentang pemidaan itu belum ada “ Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previalege) Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan (Psl 1 KUHP)
, biasanya asas legalitas ini secara
teori mengandung tiga pengertian :
- Tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
- Untuk menentukan adanya
perbuatan Pidana tidak boleh digunakan
- Aturan hukum Pidana tidak
berlaku surut.
Bilamana
penulis boleh berpendapat, jika
berdasarkan azas legalitas tersebut pada hakekatnya tidak ada istilah
kriminalisasi dalam prinsip penegakkan hukum di Indonesia , sebab negara ini
sejak dulu menganut sistem hukum yuridis normatif sistem yang dipakai Civil Law/ Eropa
Kontinental, sistem hukum yang sama dianut oleh negara-negara Eropa, jadi jika ada persoalan kriminalisasi pada
hakekatnya hanyalah bentuk pembelaan diri ketika seorang yang diduga melakukan
tindak pidana namun dirinya mengelak bahwa apa yang ia lakukan adalah bukan
perbuatan pidana dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang itu,
bilamana alasan itu benar karena belum
ada hukum atau undang-undang yang mengaturnya, maka secara mutatis mutandis
adalah hal yang tidak logik jika dia akan dipidana atau dikriminalisasikan.
Namun bilamana negara kita ini menganut sistem hukum Common Low (Anglo Saxon)
dimana hukum tidak harus digali berdasarkan undang-undang , bisa jadi seorang
rentan untuk dikriminalisasikan sebab hukum yang dipakai di dominasi oleh hukum tidak tertulis atau
hukum kebiasaan melalui putusan hakim tidak ada pemisahan yang tegas dan jelas antara
hukum publik dan privat , nah bisa jadi sesorang yang awalnya dulu perbuatan
yang dilakukan bukan perbuatan kriminal oleh karena perkembangan jaman dan
perubahan culture masyarkat, bisa berubah menjadi perbuatan pidana . salam
ngopi... (rudy marjono advokat).
Komentar
Posting Komentar